Minggu, 31 Juli 2011

Terimakasih Sahabat...

Orang hebat adalah orang yang tau kapan ia harus berjalan.
dan kapan ia harus berhenti di "setiap hal dalam hidupnya"
Kisah kali ini tentang pentingnya untuk berhenti sejenak dalam mengarungi derasnya gelombang kehidupan. Di penggir pantai yang indah dan tanpak mempesona 2 orang sahabat sedang asik berenang2 .

" Ayuk Di, agak ke tengah dikit.., Salim mangajak budi dengan komando kepalanya..

"Ogah ah.. serem.. lo  aja yang ketengah, lo  kan pinter berenang... budi sedikit ngeri mengiyakan ajakan Salim.

"Tenang aja lagi Sob.. kan ada Gw.. lo pasti aman deh... Salim meyakinkan budi yang terlihat ketar ketir..

"Yakin? aman yak?!!!.. budi meminta kepastian Salim..

"Yakin aman Di... gw kan juara renang di sekolah... lo pasti aman.. kalo ada apa2 lo bisa andelin kemampuan renang gw.. Salim memastikan ucapannya.


" Oke deh

mereka berenang menjauhi bibir pantai tempat mereka berasal.. mengambang, berubah gaya berenang, dan canda menjadi
"sesaji" kala mereka menempuh senti demi senti air asin yang sedang mereka tracking...

Tiba2 angin mulai sedikit demi sedikit mengencang.. Gelombang mulai meninggi.. dan Awan hitam berbondong bondong mendekati daratan..

"Lim.. gimana nih.. budi panik..

"Yuk ke pingigir sekarang..salim mengajak budi...

budi mengikuti salim yang berenang di depannya..

tiba2 Ombak yang sangat tinggi bergulung dari arah belakang tubuh mereka..

"Huaaaaaaaaaaaaaaaa..... Budi berteriak sekencangnya...

"Lo gak papa kan Bud??? salim berteriak dari arah depan..

"aku aman..kamu dimana lim ??? budi mencari salim yang tadi berenang di depannya..

"Gw di depan lo bud.. kehalang ombak nih.. lo terus aja berenag ke pinggir .. nanti kita ketemu disana...

"aku takut gak kuat Lim.. kamu sih enak pinter berenang.. Budi meneriaki Salim...

"Udah berenang aja lo.. pasti bisa kok.. Salim menyahut dari kejauhan.. dan suaranya semakin jauh dari tubuh budi yang mulai kelelahan..

Salim memacu kecepatan renangnya dan menerjang gelombang yang semakin meninggi.. berkali kali ia menghilang dan timbul dari riak2 air..

Sementara Budi sudah kelelahan.. ia tak mampu lagi berenang melawan gelombang yang mematahkan kayuhan kakinya untuk berenag menuju pantai.. ia hanya pasrah mengikuti kemana gelombang membawanya.. "Tuhan.. inilah akhir hidupku.." budi membatin sedih.. ia yakin Salim sedang menunggunya di pinggir pantai sambil berharap harap cemas akan keadaannya.. semoga Salim bisa sabar menunggu ku.. budi menangis haru didalam kesendiriannya..

30 menit berlalu.. budi mulai menyadari gelombang laut sudah tidak separah beberapa waktu lewat.. angin cenderung bergerak tenang, ombak bergulung hanya beberapa centi saja.. nampak dihadapannya bibir pantai tempat ia dan salim biasa berenang..

Bersusah payah Budi bergerak hingga menyentuh pasir yang memutih di hamparan pinggiran pantai..

"alhamdullilah.... budi kembali terisak....,,

Belum lagi pulih tenaga budi.. ia segera bergegas mencari Salim yang mungkin sejak tadi mencarinya..

"Saliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiim... liiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiimmm.... budi berteruiak keras memanggil sahabatnya...

"Dek dek.. apa kamu nyari teman kamu??? seorang bapak nelayan menghampiri budi..

"iya betul pak.. , bapak ada liat enggak ya??

" coba liat di balai desa dek.. siapa tau itu teman adek...

Budi berlari kearah balai desa dan menyaksikan pemandangan pilu dihadapannya.., Salim telah terbujur kaku, beberap nelayan menceritakan , mereka menemukan salim terombang ambing di lautan.. mungkin ia tenggelam karena terlalu lelah melawan gelombang yang sedang gila-gilanya beberapa jam lalu..

Budi kembali menangis sejadi jadinya.. " kenapa salim.. kenapa bukan aku.. bukankah aku tidak pandai berenang, bukankah salim juara renang di sekolah..." air matanya membanjir hebat... terbayang semangat sahabatnya yang menyuruhnya terus berjuang hingga tiba di pinggir pantai..


Selamat jalan sahabat.. Budi meninggalkan secarik kertas putih bertuliskan.. "Terimakasih" diatas tanah merah tempat Salim terbaring ubntuk selamanya...

Taukah kalian kenapa aku berterimakasih kepada sahabatku???
kerena dari kejadian ini aku tau satu hal yang mungkin akan aku ingat seumur hidupku..

kejadian ini mengajarkan padaku..

Dalam hidup, kita bukan sekedar harus menjadi kuat, pandai dan terampil..

Dalam hidup kita bukan sekedar harus menjadi sosok yang dibanggakan, di elu elukan, atau di damba dambakan..

tapi kita juga mesti tau kapan kita harus berhenti sejenak untuk berjalan atau berjuang, bukan untuk menyerah, apalagi kalah...

kita berhenti sesaat untuk " memastikan " apakah kita sanggup terus berjalan,  kita berhenti sejenak untuk "memikirkan" kapan waktu yang tepat untuk kembali melangkah.

Tidak akan mungkin kita sanggup mendaki Mount evrest tanpa jaket...
tidak akan mungkin kita sampai puncak himalaya tanpa berhenti untuk berkemah...

Kita berhenti sesaat untuk memikirkan apa yang terbaik bagi diri kita saat melawan

"GELOMBANG GELOMBANG KEHIDUPAN"

Karena gelombang itu akan berubah setiap hari..
dan kita tidak harus berhenti pula setiap hari..

tapi berhentilah saat"TIBA2 GELOMBANG ITU BEGITU MENAKUTKAN DAN TERAMAT BERAT UNTUK KITA LALUI DALAM BEBARAPA MENIT"

Berhentilah dan berfikirlah,,.. biarkan sejenak tubuh kita untuk beristirahat..
jika sudah mereda.. lanjutkan perjalanan panjang ini dengan ketenangan dan rangkaian pilihan bijak.

orang hebat bukanlah orang yang suaranya paling besar, temannya paling banyak , ilmunya paling tinggi, hartanya paling berlimpah, 

orag hebat adalah orang yang tau kapan ia harus berjalan. dan kapan ia harus berhenti di "setiap hal dalam hidupnya"

Seputih Melati

Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak memiliki warna dibalik warna putihnya. Ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya, apapun kondisinya, panas, hujan, terik ataupun badai yang datang ia tetap putih. Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih. Putih,bersih, indah berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.

Pada hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes. Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.

Pada tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya, menserikan alam. Agar kelak, apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?

Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih. Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih?

Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena masing-masing memahami tugas dan peranannya. Tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya. Indah menghiasharumi semua taman yang disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. Yang tetap berseri disemua suasana alam.


Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.

Dan pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya. Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.

Dan kepada melatiku, tetaplah menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan menjadi angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi matahari, menjadi daun dan alam semesta. Tetapi takkan pernah menjadi debu atau unggas yang hanya akan merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati begitu saja.

Don't Judge a Book by Its Cover


Semua pernah mendengar judul di atas. Termasuk aku tentunya. Aku sering menemukan bagaimana rentetan kata-kata “Don’t judge a book by its cover” tersurat di berbagai buku, ceramah, bahkan wikipedia. Wikipedia? yup, menurut wikipedia kata-kata itu bermakna “don’t determine the worth of something based on its appearance” alias jangan menilai sesuatu berdasarkan tampilannya.

Memang, benar atau salahnya ungkapan ini tentunya sangat objektif, bahkan subjektif.. mungkin juga subversif (???). Anyway, beberapa waktu lalu aku menemukan penegasan yang lebih dalam dari ungkapan ini. Coba simak lantunan kata-kata yang masuk di inbox emailku beberapa waktu lalu:

Rumah indah hanya kemasan, Keluarga bahagia itu isinya.

Pesta pernikahan hanya kemasan, Cinta kasih, pengertian, dan tanggung jawab itu isinya

Ranjang mewah hanya kemasan, Tidur nyenyak itu isinya.

Makan enak hanya kemasan, Gizi dan energi itu isinya.

Kecantikan dan pakaian hanya kemasan, Kepribadian itu isinya.

Bicara itu hanya kemasan, Kerja nyata itu isinya.

Buku hanya kemasan, Pengetahuan itu isinya.

Jabatan hanya kemasan, Pengabdian dan pelayanan itu isinya

Sangat meletihkan jika hidup dihabiskan hanya untuk menjelaskan dan membuktikan bahwa kita orang baik, benar, hebat, keren, luar biasa (atau apalah).. banyak hal yg lebih berarti dari itu.. bagi diri sendiri, sesama, dan terutama Tuhan.. Utamakan isinya, tetapi jangan lupa untuk merawat kemasannya..  ^^


Memang, benar atau salahnya ungkapan ini tentunya sangat objektif, bahkan subjektif.. mungkin juga subversif (???). Anyway, beberapa waktu lalu aku menemukan penegasan yang lebih dalam dari ungkapan ini. Coba simak lantunan kata-kata yang masuk di inbox emailku beberapa waktu lalu:

Rumah indah hanya kemasan, Keluarga bahagia itu isinya.

Pesta pernikahan hanya kemasan, Cinta kasih, pengertian, dan tanggung jawab itu isinya

Ranjang mewah hanya kemasan, Tidur nyenyak itu isinya.

Makan enak hanya kemasan, Gizi dan energi itu isinya.

Kecantikan dan pakaian hanya kemasan, Kepribadian itu isinya.

Bicara itu hanya kemasan, Kerja nyata itu isinya.

Buku hanya kemasan, Pengetahuan itu isinya.

Jabatan hanya kemasan, Pengabdian dan pelayanan itu isinya

Sangat meletihkan jika hidup dihabiskan hanya untuk menjelaskan dan membuktikan bahwa kita orang baik, benar, hebat, keren, luar biasa (atau apalah).. banyak hal yg lebih berarti dari itu.. bagi diri sendiri, sesama, dan terutama Tuhan.. Utamakan isinya, tetapi jangan lupa untuk merawat kemasannya..  ^^hjjjkak
Semua pernah mendengar judul di atas. Termasuk aku tentunya. Aku sering menemukan bagaimana rentetan kata-kata “Don’t judge a book by its cover” tersurat di berbagai buku, ceramah, bahkan wikipedia. Wikipedia? yup, menurut wikipedia kata-kata itu bermakna “don’t determine the worth of something based on its appearance” alias jangan menilai sesuatu berdasarkan tampilannya.

Memang, benar atau salahnya ungkapan ini tentunya sangat objektif, bahkan subjektif.. mungkin juga subversif (???). Anyway, beberapa waktu lalu aku menemukan penegasan yang lebih dalam dari ungkapan ini. Coba simak lantunan kata-kata yang masuk di inbox emailku beberapa waktu lalu:

Rumah indah hanya kemasan, Keluarga bahagia itu isinya.

Pesta pernikahan hanya kemasan, Cinta kasih, pengertian, dan tanggung jawab itu isinya

Ranjang mewah hanya kemasan, Tidur nyenyak itu isinya.

Makan enak hanya kemasan, Gizi dan energi itu isinya.

Kecantikan dan pakaian hanya kemasan, Kepribadian itu isinya.

Bicara itu hanya kemasan, Kerja nyata itu isinya.

Buku hanya kemasan, Pengetahuan itu isinya.

Jabatan hanya kemasan, Pengabdian dan pelayanan itu isinya

Sangat meletihkan jika hidup dihabiskan hanya untuk menjelaskan dan membuktikan bahwa kita orang baik, benar, hebat, keren, luar biasa (atau apalah).. banyak hal yg lebih berarti dari itu.. bagi diri sendiri, sesama, dan terutama Tuhan.. Utamakan isinya, tetapi jangan lupa untuk merawat kemasannya..  ^^

Jumat, 08 Juli 2011

Mengubah Tema Facebook

BUKA usersyles.org




GANTI DENGAN GAMBAR SENDIRI. daftar di photobucket.com MINIMAL UKURAN 1280x960


Minggu, 03 Juli 2011

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international voip calls